Review Film Ma Rainey’s Black Bottom (2020): Masterpiece Terakhir Sang Raja
Film Ma Rainey’s Black Bottom yang diproduksi Netflix bisa dibilang menjadi salah satu film terbaik di penghujung tahun. Setelah Roma (2018) mendapatkan Oscar untuk Best Cinematography, film Netflix karya George C. Wolfe ini digaungkan sebagai penantang serius di Academy Awards 2021.
Film ini merupakan cerita penyanyi blues professional Afrika-Amerika pertama yang merekam lagu buatannya sendiri. Terjadi pada satu hari yang terik di Chicago tahun 1927, Ma Rainey (Viola Davies) yang dijuluki “Mother of Blues” yang akan merekam album baru di studio rekaman milik dua orang kulit putih.

Band Ma yang datang lebih dulu, dipimpin oleh peniup terompet Culter (Colman Domingo), pianis Toledo (Glynn Turman), dan bassis Slow Drag (Michael Potts). Lalu datanglah Leeve Green (Chadwick Boseman) pemain terompet muda sekaligus penulis lagu yang bermimpi untuk memiliki band sendiri.
Film ini menceritakan proses rekaman yang terjadi; bagaimana Ma ingin merekam musik yang ia inginkan sesuai dengan kemauannya, Levee yang ingin mencoba merekam salam satu lagu terbaik Ma, “Ma Rainey’ Black Bottom” dengan aransemennya sendiri, serta manajer kulit putih Irvin (Jeremy Shamos) yang berjuang memfasilitasi sesi rekaman.
Eksploitasi musik dan ras
Film ini menggambarkan isu rasisme dan eksploitasi di era 20-an. Di mana Ma dibutuhkan karena ia memiliki banyak penggemar. Dengan begitu studio rekaman akan mendapatkan uang untuk setiap penjualan lagunya. Sedangkan Levee hanya dibayar untuk lagu yang diciptakannya, dengan band berkulit putih yang memainkan lagunya.

Diadaptasi dari pementasan drama karya August Wilson yang dipentaskan pertama kali pada tahun 1982, Wolfe mempertahankan kesan drama yang menawan. Perbincangan yang terjadi antar pemain band, gairah Levee, dan kekuatan Ma untuk mempertahankan musik yang disukainya terjalin dengan tempo yang dinamis.
Hanya ada 3 tempat utama yang menjadi setting film ini; studio rekaman, ruang tunggu band, dan luar studio rekaman. Semuanya memiliki atmosfer tersendiri. Jalanan yang terang benderang dipenuhi dengan pekerja kulit putih, ruang rekaman yang panas, serta ruang tunggu band yang gelap dan kotor dan hanya dipenuhi oleh pemain band berkulit hitam.

Penutup pentas Sang Raja
Layaknya Heath Ledger, memang banyak yang skeptis mengenai prediksi Oscar yang akan didapatkan Boseman setelah kematiannya. Tapi dengan tatapan sendu penuh kehilangan, didukung monolog yang menggetarkan, Boseman tentu bisa masuk dalam nominasi Oscar tahun ini. terlepas dari menang atau tidaknya sang pemeran Black Panther di Marvel Cinematic Universe ini.

Bagi kamu yang pernah menonton pementasan drama, tentu mengetahui bagaimana monolog bisa menjadi tonggak penting dalam sebuah cerita. Ada banyak monolog yang terlihat pada film ini, dan salah satunya monolog Levee yang menceritakan kehidupannya sebelum menjadi peniup terompet.
Chadwick memerankan Levee Green yang berjiwa muda, membawa mimpi-mimpi dan idealis dari pemuda kulit hitam ketika era rasisme memuncak di Amerika, serta membangkitkan simpati penonton berkat setiap gestur dan ucapannya. Terasa sempurna.

Film Ma Rainey’s Black Bottom bukan hanya menjadi penutup yang apik bagi karir Boseman di layar lebar, tapi secara lebih luas lagi merepresentasikan bagaimana seni diciptakan dan kemudian dieksploitasi. Salah satu film yang menggambarkan sistem kasta ras di Amerika dengan lugas, yang sayangnya masih terasa hingga saat ini.
Rating: 85/100
Genre: Drama, Musikal
Sutradara: George C. Wolfe
Penulis: Ruben Santiago-Hudson (screenplay), August Wilson (drama)
Pemeran: Viola Davis, Chadwick Boseman, Colman Domingo
-
85%
Summary
Film Ma Rainey’s Black Bottom bukan hanya menjadi penutup yang apik bagi karir Boseman di layar lebar, tapi secara lebih luas lagi merepresentasikan bagaimana seni diciptakan dan kemudian dieksploitasi. Salah satu film yang menggambarkan sistem kasta ras di Amerika dengan lugas, yang sayangnya masih terasa hingga saat ini.