Review Film The King of Staten Island (2020): Sisi Humanis Pete Davidson
Film The King of Staten Island menjadi proyek paling emosional dari stand-up komedian Pete Davidson. Bekerja sama dengan sutradara besar di genre komedi, Judd Apatow, sekilas kisah Pete dirangkum dalam film berdurasi 136 menit ini. Penuh drama, meski tak ketinggalan sisi komedinya.
Berfokus pada Scott Carlin, pemuda berusia 24 tahun yang masih tinggal dengan ibu dan adiknya. Sang ayah yang berprofesi sebagai pemadam kebakaran telah meninggal ketika tragedy 9/11. Tak menamatkan sekolah, Scott hanya bermain-main dan menghisap ganja setiap hari. Tapi dia bercita-cita untuk membuka restoran sekaligus tempat tato.

Semuanya berubah ketika ibunya didekati pemadam kebakaran lainnya, Ray. Scott mencari cara agar sang ibu berpisah dengan Ray, termasuk menggali keburukannya dari mantan istri Ray. Ketika hubungan snag ibu dan Ray memburuk, dia akhirnya diusir dari rumah sehingga harus tinggal di posko pemadam kebakaran bersama Ray. Dan semua itu mengubah hidupnya.
(Tak hanya) film komedi
The King of Staten Island merupakan proyek personal dari Pete Davidson yang lebih dikenal sebagai stand-up komedian (dan mantan pacar Ariana Grande). Sebagian besar cerita yang ada terinspirasi dari kehidupan pribadinya. Bahkan tentang sosok ayah yang bekerja sebagai pemadam kebakaran dan kehidupan masa mudanya.

Plot berpusat pada Scott, mulai dari keluarga, teman, hingga Kelsey yang dianggapnya hanya ‘friend-with-benefit”. Cerita menjadi lebih menyentuh ketika memasuki pertengahan cerita. Dimana Scott mulai belajar tentang tanggung jawab dan menengal sosok pemadam kebakaran ketika tinggal bersama Ray.
Hanya saja Apatow seakan kebingungan membawa tone cerita: masuk ke ranah komedi atau mempertontonkan sisi dramatis dari pemuda 24 tahun yang ingin mencari jati dirinya. Padahal adegan pertama dibuka dengan Scott yang berkendara dengan mata tertutup. Tapi ketegangan dan keseriusan tersebut tak terlihat lagi sepanjang cerita.

Plot linear layaknya film bergenre semi-otobiografi lainnya masih menjadi andalan. Sebagian besar cerita dan perkembangan emosional yang ada di dalam film terasa masih dangkal. Beberapa scene dan perubahan karakter Scott tak begitu kentara. Apa karena Pete tak terlalu ingin memperlihatkan lebih dalam karakter ‘Pete Davidson’ sebenarnya?
Semi-biografi jujur?
Pete Davidson dikenal sebagai stand-up comedian dan membintangi acara komedi Saturday Night Live” turut menulis naskah dan bertindak sebagai produser. Begitu pula dengan Judd Apatow, sineas andal yang telah menyutradarai puluhan film bergenre komedi seperti The 40-Year Old Virgin (2005) dan Trainwreck (2015).
Maka jangan heran jika banyak yang beranggapan film ini akan dipenuhi unsur-unsur komedi. Tapi semua itu salah. Meskipun ada beberapa bagian komedi, tapi film The King of Staten Island fokus pada perjalanan Scott yang merupakan representasi dari kisah hidup Pete Davidson.

Pete terlihat lebih personal, walau tetap dengan gaya slengean di dalam cerita. Bahkan dalam stand-up komedinya, Pete sering menyebutkan bagaimana dia kehilangan sosok ayah di usia muda, tepatnya pada Serangan 11 September 2001 di Manhattan, New York. Buruknya, Pete seperti tak ada bedanya dengan karakter aslinya.
Banyak karakter yang datang dan pergi layaknya pelengkap dalam kehidupan Scott dan terbuang sia-sia. Padahal karakter lain memiliki kekuatannya masing-masing. Seperti Marisa Tomei yang harus berjuang membesarkan anak-anaknya atau Bel Powley yang menjalani impiannya tersendiri.

The King of Staten Island merupakan salah satu film yang jujur serta memperlihatkan sisi lain Pete Davidson dengan peran yang lebih serius. Tapi ketimpangan dan tone yang membingungkan membuat film ini gagal meraih potensi terbesarnya. Hanya jujur tanpa banyak usaha sepertinya tidak selalu memuaskan.
Rating: 6.5/10
Genre: Drama, Komedi
Sutradara: Judd Apatow
Aktor: Pete Davidson, Bel Powley, Marisa Tomei
Review Film
-
6.5/10
Summary
Film The King of Staten Island merupakan salah satu film yang jujur serta memperlihatkan sisi lain Pete Davidson dengan peran yang lebih serius. Tapi ketimpangan dan tone yang membingungkan membuat film ini gagal meraih potensi terbesarnya. Hanya jujur tanpa banyak usaha sepertinya tidak selalu memuaskan.