Review Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) – Spaghetti Western Feminis Indonesia
Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak menggebrak perfilman Indonesia dengan mengusung genre spaghetti western, atau mungkin dapat dibilang “satay (sate) western” karena disutradarai oleh Mouly Surya yang berkebangsaan Indonesia. Dengan genre yang jarang muncul dalam film-film Indonesia, film ini menceritakan perjuangan Marlina dalam mencari keadilan yang dibagi dalam empat babak, yaitu The Robbery, The Journey, The Confession, dan The Birth.
Marlina sebagai tokoh utama memberikan dilemma kepada penonton. Apakah kita harus suka atau takut kepada dirinya. Di awal film, Marlina kedatangan bandit yang dengan terus terang mengatakan akan merampok dan memperkosa dirinya. Tinggal bersama mendiang suaminya yang sudah memumi di sebuah rumah yang jauh dari pemukiman, Marlina harus memutar otak untuk bisa mengatasi situasi tersebut. Ia memberontak dan akhirnya membawa satu kepala bandit tersebut ke kantor polisi untuk meminta keadilan.

Ketika melihat perlakuan para bandit terhadap Marlina tentu kita akan prihatin dan menginginkan agar Marlina dapat membalas perlakuan tersebut. Namun, ketika ia mengunakan cara yang cukup kejam dalam membalaskan dendamnya, di satu sisi, kita menjadi takut dengan apa yang dapat ia lakukan.
Marsha Timothy memainkan peran Marlina dengan sangat bagus. Setiap dialog disampaikan dengan raut wajah dan gestur yang berhasil menyampaikan apa yang dirasakan Marlina dalam film ini. Tidak heran jika ia berhasil mendapatkan penghargaan aktris terbaik di Sitges International Film Festival melalui perannya sebagai Marlina.
Film ini terbilang minim dialog, namun setiap dialog sangat berisi dan juga menarik. Setiap dialog yang disampaikan dalam bahasa daerah Sumba tersebut berhasil membangun tema film, yaitu perjuangan wanita. Baik itu yang diucapkan dari sudut pandang pria, maupun dari sudut pandang wanita.
Rasa jijik, marah dan benci muncul ketika para bandit berbicara dengan meremehkan dan melecehkan para karakter wanita. Belum lagi, kekerasan fisik yang mereka lakukan. Tapi, film ini tidak hanya menampilkan penindasan terhadap wanita. Setiap dialog dan aksi yang dilakukan, khususnya, oleh para pemain wanita juga mencerminkan bahwa mereka kuat dan dapat melakukan apa yang mereka inginkan. Buktinya film ini berhasil membuat salah seorang penonton wanita di bioskop tempat saya menonton berteriak “iya!” ketika Novi, teman Marlina, bercerita tentang kehidupannya sebagai wanita dalam sebuah adegan di atas truk.

Score ala film cowboy makin menguatkan nuansa western di film ini. Selain itu, sinematografi yang memamerkan keindahan alam Sumba yang mencengangkan dengan hamparan padang savanna sejauh mata memandang mengibaratkan seting gurun pasir yang ada di dalam film-film western. Dan tentu saja parang yang menjadi senjata andalan dalam film ini mengibaratkan pistol para outlaw.
Kekurangan film ini terletak pada pace yang relatif lambat. Hal ini membuat film terasa kurang padat karena banyak adegan yang dihabiskan dengan “pameran” pemandangan negeri Sumba. Walaupun begitu, pace yang lambat tersebut tidaklah mengganggu karena ditutupi oleh cerita yang kuat dan isu sosial sensitif yang diangkat.
Sutradara: Mouly Surya
Genre: Drama, Thriller, Western
Top Cast: Marsha Timothy, Egy Fedly, Yoga Pratama, Dea Panendra
Durasi: 90 menit
Review Overview
Kesimpulan
Perjuangan wanita dengan balutan spaghetti western dan keindahan alam Sumba. Merupakan film Indonesia terbaik di tahun 2017.