Ulasan Film Do Revenge (2022): Perjuangan Penyintas Video Porno & Kemenangan Utopis Korban
Review film Do Revenge ini ada spoiler-spoilernya, terutama di bagian akhir tulisan. You’ve been warned!
Dampak dari penyebarkan video porno meninggalkan efek traumatis bagi si korban beserta keluarga. Ditambah lagi, sanksi sosial dan citra buruk yang diterima korban dari lingkungannya semakin memperpanjang rentetan dampak yang harus mereka tanggung.
Tak jarang, bunuh diri dianggap solusi paling tepat bagi si korban daripada menanggung malu seumur hidup.
Nahas, keberpihakan atau support system yang diberikan kepada si korban masih terasa bias atau abu-abu, efek traumatis tak segampang itu pulih. Butuh waktu lama bagi si korban untuh sembuh seutuhnya.
Lebih parah lagi, penyebar video tersebut terkadang datang dari orang terdekat si korban dan orang yang dipercaya.
Hal tersebut senada dengan cerita di dalam film Do Revenge arahan sutradara Jennifer Kaytin Robinson. Film ini mengudara di platform menonton streaming Netflix sejak tanggal 16 September 2022.
Sinopsis Film Do Revenge
Drea Torres (Camila Mendes) merupakan seorang siswi pemegang puncak popularitas di sekolahnya. Mimpi buruk kemudian menimpa Drea ketika rekaman seksnya yang ia kirim ke pacarnya, Max (Austin Abrams), bocor ke seluruh sekolah.

Max adalah cowok populer dan menjadi “raja” siswa di sekolah tersebut. Seperti yang kita duga, seluruh siswa sekolah malah tak lagi memandang Drea, bahkan ia harus rela mengubur mimpinya untuk kuliah di universitas yang ia inginkan.
Drea dan temannya, Eleanor (Maya Hawke) kemudian melakukan upaya balas dendam kepada orang-orang yang telah menjatuhkan mereka yang diketuai oleh Max.
Upaya Balas Dendam
Secara garis besar, film Do Revenge merupakan film dengan misi balas dendam kepada orang-orang yang telah berkhianat kepada rekannya sendiri, apalagi pasangan. Film ini hadir sebagai upaya pembelaan akan korban-korban yang sering berada di posisi yang dirugikan.
Terlebih, jika berkaca pada kasus yang dialami Drea. Banyak sekali di luar sana “Drea” lain yang sesungguhnya tidak berterima pada apa yang mereka alami. Hingga pada akhirnya, sedikit yang terus merjuangkan nama baiknya, banyak yang memutuskan untuk menyerah dan tumbang karena telah lelah.

Hal demikian juga didukung oleh lingkungan yang ikut memberikan stigma buruk tanpa mencari tahu terlebih dahulu akar dari permasalahan yang sedang dihadapi si korban. Keberpihakan tokoh-tokoh kepada si korban sesungguhnya absen di dalam film ini.
Sejatinya, film Do Revenge ingin membingkai sekaligus menampar fenomena “gelombang bias support” yang masih berkutat di ranah “abu-abu”. Jika mendukung sekadar ikut saja, jika tidak dianggap antipati. Memang begitulah adanya dan hanya sedikit orang yang benar-benar peduli pada nasib si korban.
Keberpihakan lingkungan baru hadir setelah menyesal datang dan itupun ditampilkan di akhir-akhir film.
Drea merupakan representasi yang memperlihatkan sisi perlawanan atas ketidakberterimaan korban-korban penyebaran video porno. Ia terus berusaha mencari bukti bahwa ucapan Max yang mengatakan bahwa handphone-nya diretas adalah salah.

Drea yakin bahwa mantan kekasihnya itu dengan sengaja ingin menyebarkan video porno yang dikirim Drea khusus kepadanya. Drea tidak peduli jikalau Max memiliki banyak dukungan dari teman-temannya yang dulu. Ia bersama Eleanor yang membantunya terus berupaya untuk mencari-cari bukti dengan berbagai cara agar Max mau mengakui perbuatannya.
Drea merupakan representasi yang memperlihatkan sisi perlawanan atas ketidakberterimaan korban-korban penyebaran video porno. Jika dihubungkan dengan Indonesia, film Penyalin Cahaya yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja juga membicarakan perihal yang demikian: penyebaran video dan upaya pembuktian.
Korban yang selalu mendapat stigma buruk, sementara pelaku bebas berkeliaran sesuka hatinya. Ditambah lagi, si pelaku tersebut adalah bagian dari sekelompok orang yang kebal hukum. Semakin sukar jalan yang harus dilalui oleh si korban.

Narasi-narasi seperti ini sejatinya memberikan kesan yang baik di satu sisi bahwa masih adanya tingkat kepedulian sineas mengangkat cerita dari kasus-kasus yang terus membentuk siklus di tengah masyarakat dan “menggelembung”.
Tetapi, sisi buruknya ialah bagaimana penanganan kasus penyebaran video porno masihlah belum mencapai kata serius dan masih ditahap meresahkan. Secara perilaku, tentu ada salah juga yang dilakukan oleh si korban dalam memberikan video pribadinya dengan alasan percaya.
Terkadang memang orang yang kita percaya adalah orang yang akan menerkam kita dari belakang seperti yang dialami oleh Drea. Hakikatnya, film berangkat dari keresahan, baik itu yang dirasakan oleh personal maupun komunal. Tentunya, Do Revenge yang ditayangkan di Netflix, telah membicarakan kasus ini hingga ke ranah global dan tidak menutup kemungkinan bahwa case ini adalah PR bagi seluruh orang di dunia.

Setelah menonton Do Revenge, saya merasa bahwa ancaman dan “tusukan” bisa datang dari mana saja dan kapan saja, bahkan dari orang kepercayaan sekalipun.
Ditambah dengan bahan bakar film Do Revenge ialah toxic relationship yang digerakkan lewat percintaan dan intrik pertemanan.
Sikap manipulatif, narsistik, ketidakberpihakan, merugikan posisi korban, hingga ketimpangan relasi kuasa, menjadi refleksi akan realita yang juga masih ada do lembaga pendidikan bernama sekolah.
Film Do Revenge adalah upaya balas dendam atas hak seseorang dalam membela diri sendiri. Darah siapapun halal jika seseorang tersebut telah sampai pada titik ini.
Drea akhirnya menang dan Max mengakui kekalahannya sambil berlutut. Drea divisualkan mengalahkan kentalnya dominasi patriarki yang disandang Max di lingkungan sekolah, meski realita sesungguhnya atas kemenangan Drea tersebut masihlah bersifat utopis di masa sekarang.